Pernikahan Sekufu dalam Konteks Sekarang

Pernikahan Sekufu dalam Konteks Sekarang 
 Oleh: Norma Azmi Farida
           Pernikahan sekufu (kafaah) merupakan pernikahan yang dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW, hal ini dibuktikan dengan hadis dari Nabi Muhammad, Dari Aisyah, ia berkata, "Rasulullah SAW bersabda, Pilihlah baik-baik (tempat) untuk sperma kalian, menikahlah kalian dengan yang sekufu" dan nikahkanlah (anak-anak perempuan kalian) kepada mereka (yang sekufu)’’ (H.R Ibnu Majah).

 Beberapa alasan Rasulullah memperintahkan adanya pernikahan sekufu  ialah untuk  menyeimbangkan serta adanya keserasian diantara masing-masing calon pasangan, sehingga tidak ada yang merasa berat untuk melangsungkan pernikahan. Atau laki-laki sebanding dengan perempuan yang menjadi calonnya, sama dari segi kedudukannya, sebanding dalam strata sosialnya dan sebanding dalam akhlak, juga setara dalamm kekayaannya. Disinilah peran kafaah, yaitu keseimbangan, keharmonisan dan keserasian.

Alasan diatas memang akan merambat pada keharmonisan kepada sepasang calon dalam rumah tangga. Namun ternyata, nasib seorang yang hidup dibawah rata-rata menganggap mereka tidak pantas mendapatkan pasangan yang di atasnya. Hal ini akan mengganggu mental orang yang hidup di bawah rata-rata. Ternyata, kaffaah juga ada pada tradisi agama selain Islam, atau terdapat pada budaya dan suku dalam agama Hindu, Seperti, keturunan suku Brahmana, harus menikah dengan keturunan suku Brahmana juga, serta berlaku untuk suku lainnya.

Tradisi menikah dengan sekufu semakin tidak diperhatikan seiring perkembangaan zaman, hal ini dibuktikan dengan adanya contoh pria sukses dan pintar, namun memilih pasangan hidupnya dengan wanita desa, yang sederhana dan anggun, serta dari keluarga yang di bawah rata-rata. Kemudian ada pula orang dalam negeri menikah dengan orang luar negeri, menikah karena dalam meraih prestasi yang sama, keduanya sama-sama merasa cocok dan cinta, tanpa menoleh pasangan dari keluarga siapa, hanya dari pertemuan yang membawa kisah, sampai akhirnya memutuskan untuk menikah, meski suku adat yang berbeda. Selanjutnya pernikahan beda agama.

Kasus menikah dengan beda agama, memang dikatakan pernikahan tidak sekufu, karena ada dalam Al-quran, yang bunyinya;

“Dan janganlah kamu nikahi perempuan-perempuan yang musyrik itu hingga mereka beriman lebih dahulu. Sesuungguhnya hamba sahaya yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik walaupun dia menarik hatimu”. (Al-Baqarah:221)

Allah secara tegas melarang terjadinya pernikahan beda agama, namun terdapat teori yang memunculkan adanya celah atau kesempatan untuk terjadinya pernikahan bukan satu golongan, yaitu antara umat Islam dengan wanita ahli kitab, diperbolehkannya pernikahan umat Islam dengan wanita ahli kitab ini terdapat dalam surat al-Maidah ayat 5 yang menerangkan bahawa adanya legalisasi pernikahan dengan wanita ahli kitab bagi kaum muslim.[1]

Ahli kitab adalah orang Yahudi dan Nasrani keturunan orang-orang Israel, tidak termasuk bangsa-bangsa lain yang menganut agama yahudi dan Nasrani. Alasannya bahwa Nabi Musa dan Nabi Isa hanya diutus kepada bangsa mereka, bukan bangsa lain.[2]



Pendapat Ulama’ Terkait Pernikahan Sekufu.
            Seperti yang di tulis oleh M. Iqbal Syauqi, Kreteria dan kesetaraan atau sekufu dalam pernikahan[3]. Disebutkan beberapa pendapat yang bisa dipertimbangkan untuk memahami kafaah. Pertama, pendapat yang dipegang oleh imam An-Nawawi dan Ibnu Hajar. Kafaah calon pasutri adalah nasab, kredibilitas, status merdeka, kesalehan, serta sikap wawasan keislaman. Menurut pendapat ini, jika calon suami nenek moyangnya lebih unggul, maka sudah dianggap setara. Jika sebaliknya, maka tidak dikatakan sederajat.

Kedua, pendapat dari Ibnu Qodli, bahwa pendapat dari Imam An-Nawawi tidak dijadikan pegangan, karena bila unggul dalam salah satu aspek, maka masih dianggap sekufu.

Ketiga, pendapat dari Adzara’i dan Ibnu Rif’ah, dari beberapa aspek yang disebutkan oleh Imam An-Nawwi hanya aspek nasab yang diunggulkan.

Pernikahan Sekufu dalam Konteks Sekarang.


Pada masa Rasulullah SAW, pernikahan sekufu diterapkan karena untuk mempermudah dalam mencari pasangan hidup. Karena pada zaman dahulu, umat muslim sangatlah sempit untuk membentuk pergaulan, apalagi dari kaum wanita, mereka lebih sering duduk di rumah, mengurus urusan rumah tangga masing-masing. Oleh karena itu, nabi mengutus untuk menikahlah dengan kaumnya masing-masing yang sudah ada disekitarnya, yang mana seluk beluk karakter, kredibilitas, dan lainnya sudah diketahui, pendapat ini termaktub dari Hasan Mahfudz salah satu dosen prodi Ilmu Al-Quran Tafsir dan Ilmu Hadis di UIN Sunan Ampel Surabaya.   




Kemudian menurut ulama kontemporer, seperti, Sufyan Al-Tsauri, Hasan Al-Basri, dan Al-Karkhi dari kalangan Hanafi, berpendapat bahwa keharusan adanya kafaah dalam pernikahan adalah tidak sesuai dalam Al-quran yang berbunyi, “sesungguhnya yang paling mulia diantaramu di sisi Allah adalah yang paling taqwa” (Surat al-hujarat ayat 13). Tidak sejalan juga ketika Rasulullah memerintahkan Fatimah bin Qais untuk menikah dengan Zaid bin Usamah (sahabat rasul, dikenal pemuda yang berani dan tangguh), dan menyuruh Bani Bayadhah untuk mengawinkan Abu Hind (seorang gadis pembuat tali kekang kuda). Itu sebabnya, adanya beberapa ulama’ yang tidak mensyaratkan kafaah dalam pernikahan.


Jika diputar dalam dunia sekarang, pergaulan antar sesama manusia lebih mudah,  bergaul degan jarak jauh bisa ditempuh dengan cepat dan serasa dekat juga mudah. Akses relasi manusia lebih luas dan mudah karena teknologi. Antar keberagaman bangsa, budaya, dan bahasa lebih mudah kita rasakan pada masa sekarang. Namun, kembali ke titahnya, jika konsep sekufu dalam pernikahan masih perlu diterapkan, itu akan lebih bagus, karena Nabi juga menganjurkannya, bukan mengharuskan. Asalkan dalam pernikahan tercipta rumah tangga yang bermaslahah dan sakinah.








[1] Muhammad Irham dkk, Pernikahan Beda Agama Ditinjau dari Perspektif Islam dan HAM, Jurnal Khazanah Vol. 6 no.1 Juni 2013, 5.
[2] Ibid,. 8.
[3] Syauqi, Iqbal. Kreteria dan Kesetaraan atau Sekufu dalam Pernikahan. www.NU Online (29 Mei 2019, 04.15)

Komentar